Thursday, January 10, 2019

HIDUP KRISTEN SEPERTI POHON ZAITUN



HIDUP KRISTEN SEPERTI POHON ZAITUN

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Juni 2016 

Baca:  Mazmur 52:1-11


"
Tetapi aku ini seperti pohon zaitun yang menghijau di dalam rumah Allah; aku percaya akan kasih setia Allah untuk seterusnya dan selamanya."  Mazmur 54:10

Kehidupan orang percaya seringkali Alkitab ibaratkan seperti pohon atau tanaman yang harus mengalami pertumbuhan fase demi fase:  mulai dari bertunas, berakar, bertumbuh dan kemudian berbuah.

     Inilah kehidupan Kristen yang normal yaitu kehidupan yang terus bertumbuh secara rohani,  "sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus,"  (Efesus 4:13).  Artinya hidup Kristen adalah hidup yang terus berproses, dinamis, bergerak maju, aktif dan tidak statis.  Namun banyak orang yang sudah mengikut Tuhan atau menjadi Kristen selama bertahun-tahun kehidupan rohaninya tidak mengalami perubahan yang berarti, tidak ada kemajuan, seperti berjalan di tempat.  Jika demikian berarti kekristenan mereka sudah mati, walau secara kasat mata masih tampak melakukan aktivitas kerohanian yang mungkin tak lebih dari sekedar rutinitas.

     Kehidupan rohani orang percaya seharusnya seperti pohon Zaitun, jenis pohon yang dapat bertahan hidup ribuan tahun lamanya.  Ini berbicara tentang kesetiaan kita mengiring Tuhan.  "Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan."  (Wahyu 2:10b).  Semakin kita setia kepada Tuhan, semakin kita melekat kepada-Nya, semakin kita beroleh kekuatan untuk menghadapi angin, badai dan gelombang kehidupan.  Maka kita harus seperti pohon zaitun yang tertanam di rumah Tuhan, yang sekali tertanam akan tetap tertanam sampai selama-lamanya.  Akar pohon zaitun pun sangat kuat sehingga tidak mudah dicabut atau dipindahkan ke tempat lain, itulah sebabnya ia dapat hidup dalam waktu yang sangat lama.  Pohon zaitun adalah pohon yang menghasilkan minyak yang pada masa itu sering dipakai untuk mengurapi raja, di samping untuk keperluan hidup sehari-hari, dimana semua orang membutuhkannya.  Hidup Kristen adalah hidup yang harus menghasilkan buah yang baik yang dapat dinikmati banyak orang, menjadi berkat bagi orang lain.

"Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau,...mereka berjalan makin lama makin kuat,"  Mazmur 84:6, 8


Rabbi Yechiel Eckstein


Rabbi Yechiel Eckstein


Other Ways To Give

Step 2. Mail or fax the form to:
International Fellowship of Christians and Jews
PO Box 96105
Washington, D.C. 20090-6105
Fax: 312.641.7201
Thank you. Your donation is tax deductible as allowed by law. We will send you a receipt for your records.

Donate by Mail:
Download the PDF to print the
donation forms.
Description: https://help.ifcj.org/img/bbb_donation_logo.png
Description: https://help.ifcj.org/img/email-thawte.png

IDR: 14.028,50


Pohon Zaitun yang Subur di Rumah YAHVEH



·       
·        
Pohon Zaitun yang Subur di Rumah YAHVEH
DI NEGERI Israel, ada sebuah pohon yang nyaris tidak dapat binasa. Meskipun sudah ditebang, akarnya segera bertunas kembali. Dan, sewaktu buahnya dipanen, pemiliknya memperoleh berlimpah minyak yang dapat digunakan untuk memasak, penerangan, menjaga kebersihan, dan kosmetik.
Menurut sebuah perumpamaan kuno yang dicatat di buku Hakim-Hakim, ”sekali peristiwa, pohon-pohon pergi mengurapi seorang raja atas mereka”. Pohon apa yang menjadi pilihan pertama? Tak lain dan tak bukan, pohon zaitun yang tangguh dan subur.​—Hakim 9:8.
Lebih dari 3.500 tahun yang lalu, nabi Musa melukiskan Israel sebagai ’negeri yang baik, negeri dengan minyak zaitun’. (Ulangan 8:7, 8) Bahkan sampai hari ini, hutan zaitun bertebaran mulai dari kaki Gunung Hermon di sebelah utara hingga daerah pinggiran Beersyeba di sebelah selatan. Pohon zaitun masih menghiasi pesisir Dataran Syaron, lereng yang berbatu-batu di Bukit Samaria, dan Lembah Galilea yang subur.
Para penulis Alkitab sering menggunakan pohon zaitun sebagai lambang. Ciri-ciri utama pohon ini digunakan untuk menggambarkan belas kasihan Allah, janji akan kebangkitan, dan kehidupan keluarga yang bahagia. Dengan mencermati pohon zaitun, kita akan dibantu memahami keterangan Alkitab ini dan akan memperdalam penghargaan kita akan pohon unik ini yang, bersama ciptaan lainnya, ikut mengagungkan Pembuatnya.​—Mazmur 148:7, 9.
Pohon Zaitun yang Kokoh
Pada pandangan pertama, pohon zaitun tidak begitu mengesankan. Ia tidak menjulang tinggi ke langit seperti halnya pohon aras Lebanon yang berwibawa. Kayunya tidak semahal kayu pohon juniper, dan bunganya tidak secantik bunga pohon badam. (Kidung Agung 1:17; Amos 2:9) Bagian terpenting dari pohon zaitun justru tidak kelihatan​—di bawah tanah. Akarnya yang panjang, yang dapat menembus 6 meter ke bawah tanah dan lebih jauh lagi ke samping, adalah rahasia kesuburan dan ketangguhan pohon ini.
Akar semacam itu memungkinkan pohon zaitun yang tumbuh di lereng berbatu-batu bertahan selama musim kering, sementara pohon-pohon lain di lembah sudah mati kehausan. Akar tersebut memungkinkannya terus menghasilkan buah zaitun selama berabad-abad, meski batangnya yang bengkok tampaknya hanya cocok dijadikan kayu bakar. Yang dibutuhkan pohon ini hanyalah tempat untuk bertumbuh dan tanah yang beroksigen agar ia dapat bernapas, bebas dari lalang atau tumbuhan lain yang dapat menjadi sarang hama. Kalau kebutuhan yang tidak rumit ini dipenuhi, satu batang pohon akan menghasilkan hingga 57 liter minyak setahun.
Pastilah, pohon zaitun disayangi orang Israel karena minyaknya yang berharga. Minyak zaitun menjadi bahan bakar lampu sumbu yang menerangi rumah mereka. (Imamat 24:2) Di bidang masak-memasak, minyak zaitun sangat penting. Minyak ini dapat melindungi kulit terhadap sinar matahari, dan orang-orang Israel juga memakainya sebagai sabun. Gandum, anggur, dan zaitun adalah panenan utama negeri itu. Dengan demikian, panen zaitun yang gagal berarti bencana bagi sebuah keluarga Israel.​—Ulangan 7:​13; Habakuk 3:​17.
Tetapi, minyak zaitun biasanya berlimpah. Musa menjuluki Tanah Perjanjian sebagai ’negeri dengan minyak zaitun’, kemungkinan karena zaitun adalah pohon yang paling umum di daerah tersebut. Seorang pencinta alam pada abad ke-19, H. B. Tristram menggambarkan zaitun sebagai ”pohon khas di negeri itu”. Karena minyak zaitun bernilai dan berlimpah, ia bahkan digunakan sebagai mata uang internasional di seluruh kawasan Laut Tengah. Yesus Kristus sendiri pernah mengatakan tentang utang yang dihitung dalam ”seratus takaran bat minyak zaitun”.​—Lukas 16:​5, 6.
”Seperti Tunas Pohon Zaitun”
Dengan tepat, minyak zaitun yang berguna ini menggambarkan berkat ilahi. Bagaimana seseorang yang takut akan Allah diberi upah? ”Istrimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur di rumahmu,” lantun sang pemazmur. ”Anak-anakmu seperti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu.” (Mazmur 128:3TB) Apa itu ”tunas pohon zaitun”, dan mengapa sang pemazmur membandingkannya dengan putra-putra?
Hal yang ganjil dari pohon zaitun ialah bahwa cabang-cabang mudanya terus bertunas dari dasar batangnya.* Sewaktu batang utama tidak dapat lagi berbuah karena usia tua, penggarap akan membiarkan beberapa tunas, atau cabang baru, bertumbuh sampai akhirnya menyatu dengan pohon itu. Setelah beberapa lama, pohon yang semula akan memiliki tiga atau empat batang muda yang kuat di sekelilingnya, seperti putra-putra di sekeliling meja. Tunas-tunas ini memiliki akar yang sama, dan mereka bersama-sama menghasilkan panenan buah zaitun yang bermutu.
Karakteristik pohon zaitun ini dengan tepat menggambarkan bagaimana putra-putri dapat bertumbuh teguh dalam iman, berkat akar rohani yang kuat dari orang tua mereka. Seraya bertambah dewasa, anak-anak juga turut berbuah dan menyokong orang-tua, yang bersukacita melihat anak-anaknya melayani Yehuwa bersama mereka.​—Amsal 15:20.
”Ada Harapan Bahkan Bagi Sebatang Pohon”
Seorang ayah manula yang melayani Yehuwa bersukacita karena anak-anaknya yang saleh. Tetapi, anak-anak ini berkabung ketika sang ayah akhirnya ”pergi menuju kematian”. (1 Raja 2:2) Untuk membantu kita menghadapi tragedi keluarga sedemikian, Alkitab meyakinkan kita bahwa akan ada kebangkitan.​—Yohanes 5:​28, 29; 11:​25.
Ayub, yang memiliki banyak anak, sepenuhnya menyadari betapa singkatnya umur manusia itu. Ia membandingkannya dengan bunga yang cepat layu. (Ayub 1:2; 14:​1, 2) Ayub ingin mati agar terbebas dari penderitaan, memandang kuburan sebagai tempat bersembunyi yang darinya ia dapat keluar lagi. ”Jika laki-laki mati dapatkah ia hidup lagi?” tanya Ayub. Kemudian, ia menjawab dengan yakin, ”Selama seluruh hari-hari kerja wajibku aku akan menunggu, sampai kelepasanku datang. Engkau [Yehuwa] akan memanggil, dan aku akan menjawab. Kepada karya tanganmu engkau akan rindu.”​—Ayub 14:​13-​15.
Bagaimana Ayub mengilustrasikan keyakinannya bahwa Allah akan memanggilnya untuk keluar dari kuburan? Dengan sebatang pohon, yang kalau ditilik dari penjabarannya, tampaknya adalah pohon zaitun. ”Karena ada harapan bahkan bagi sebatang pohon,” kata Ayub. ”Jika ia ditebang, ia akan bertunas lagi.” (Ayub 14:7) Sebatang pohon zaitun tidak akan binasa meskipun ditebang. Pohon itu akan mati hanya kalau dicabut sampai ke akar-akarnya. Jika akarnya tetap utuh, pohon itu akan bertunas kembali dengan kekuatan yang diperbarui.
Bahkan, sewaktu sebatang pohon zaitun tua benar-benar layu karena musim kering yang berkepanjangan, tunggulnya yang sudah lisut masih dapat hidup lagi. ”Jika akarnya menjadi tua di tanah dan dalam debu tunggulnya mati, pada waktu mencium bau air ia akan bertunas dan ia pasti akan menghasilkan dahan seperti tanaman yang baru.” (Ayub 14:​8, 9) Karena Ayub tinggal di negeri yang kering dan berdebu, kemungkinan besar ia telah mengamati banyak tunggul zaitun tua yang tampaknya sudah kering dan mati. Tetapi, ketika hujan turun, pohon ”mati” itu hidup kembali dan dahan baru muncul dari akarnya, seolah-olah itu ”tanaman yang baru”. Kemampuan memulihkan diri yang menakjubkan ini membuat seorang hortikulturis asal Tunisia berkomentar, ”Bisa dibilang bahwa pohon zaitun itu abadi.”
Seperti seorang petani yang menanti-nantikan saat pohon zaitunnya yang layu bertunas kembali, demikian pula Yehuwa merindukan saat untuk membangkitkan hamba-hamba-Nya yang setia. Ia menanti-nantikan saat manakala orang-orang yang setia seperti Abraham dan Sara, Ishak dan Ribka, dan banyak lagi yang lainnya, dihidupkan kembali. (Matius 22:​31, 32) Alangkah menakjubkan nantinya sewaktu kita menyambut orang-orang yang meninggal dan melihat mereka kembali menempuh kehidupan yang memuaskan dan produktif!
Pohon Zaitun Simbolis
Belas kasihan Allah terlihat dari sikap-Nya yang tidak berat sebelah dan dari persediaan-Nya berupa kebangkitan. Rasul Paulus menggunakan pohon zaitun untuk menggambarkan bagaimana belas kasihan Allah diulurkan kepada orang-orang, tidak soal ras atau latar belakang mereka. Selama berabad-abad, orang Yahudi telah membanggakan diri sebagai umat pilihan Allah, ”keturunan Abraham”.​—Yohanes 8:​33;Lukas 3:8.
Sekadar terlahir sebagai orang Yahudi bukanlah persyaratan untuk memperoleh perkenan Allah. Tetapi, semua murid Yesus yang pertama adalah orang Yahudi, dan mereka memperoleh hak istimewa menjadi manusia-manusia pertama yang dipilih Allah untuk membentuk benih Abraham yang dijanjikan. (Kejadian 22:18; Galatia 3:​29) Paulus menyamakan murid-murid Yahudi ini dengan cabang-cabang sebuah pohon zaitun simbolis.
Mayoritas orang Yahudi jasmani menolak Yesus, sehingga mendiskualifikasi diri sendiri sebagai calon anggota dari ”kawanan kecil”, atau ”Israel milik Allah”. (Lukas 12:32;Galatia 6:​16) Dengan demikian, mereka menjadi seperti cabang-cabang pohon zaitun simbolis yang dipatahkan. Siapa yang akan menggantikan mereka? Pada tahun 36 M, orang-orang Kafir dipilih untuk menjadi bagian dari benih Abraham. Halnya seolah-olah Yehuwa mencangkokkan cabang-cabang pohon zaitun liar pada pohon zaitun di kebun. Benih Abraham yang dijanjikan akan mencakup orang-orang dari bangsa-bangsa. Sekarang, orang-orang Kristen Kafir ”ikut mendapat bagian dari akar zaitun yang gemuk itu”.​—Roma 11:17.
Bagi seorang petani, mencangkokkan cabang zaitun liar pada pohon zaitun di kebun adalah hal yang tidak masuk akal dan ”berlawanan dengan kebiasaan yang lazim”. (Roma 11:24) ”Cangkokkan yang baik pada yang liar, dan, seperti kata orang Arab, itu akan menaklukkan yang liar,” papar buku The Land and The Book, ”tetapi tidak bisa sebaliknya.” Demikian pula, orang-orang Kristen Yahudi merasa takjub sewaktu Yehuwa ”untuk pertama kali memalingkan perhatiannya kepada bangsa-bangsa, untuk mengambil dari mereka suatu umat bagi namanya”. (Kisah 10:​44-​48; 15:14) Akan tetapi, ini adalah tanda yang jelas bahwa pelaksanaan maksud-tujuan Allah tidak bergantung pada satu bangsa mana pun. Tidak, karena ”orang dari bangsa mana pun yang takut kepadanya dan mengerjakan keadilbenaran diperkenan olehnya”.​—Kisah 10:35.
Paulus menunjukkan bahwa karena ”cabang-cabang” orang Yahudi yang tidak setia telah dipatahkan, hal yang sama dapat terjadi pada siapa saja yang, karena angkuh dan tidak taat, tidak lagi diperkenan Yehuwa. (Roma 11:​19, 20) Pastilah, hal ini melukiskan bahwa kebaikan hati Allah yang tidak selayaknya diperoleh tidak boleh dianggap sepele.​—2 Korintus 6:1.
Mengoles Dengan Minyak
Penggunaan minyak zaitun dirujuk secara harfiah maupun kiasan dalam Alkitab. Pada zaman dahulu, luka dan memar ”dibuat lembut dengan minyak” untuk mempercepat penyembuhan. (Yesaya 1:6) Menurut salah satu ilustrasi Yesus, orang Samaria yang baik hati menuangkan minyak zaitun dan anggur pada luka pria yang ia temukan di tengah jalan menuju Yerikho.​—Lukas 10:34.
Segar dan lega rasanya jika kepala diolesi minyak zaitun. (Mazmur 141:5) Dan dalam menangani orang yang sakit rohani, para penatua Kristen ’mengoles seorang anggota sidang dengan minyak dengan nama Yehuwa’. (Yakobus 5:​14) Nasihat Alkitab yang pengasih dan doa yang sungguh-sungguh dari para penatua demi rekan seiman yang sakit secara rohani diumpamakan dengan minyak zaitun yang melegakan. Cukup menarik, dalam bahasa Ibrani, pria yang baik kadang-kadang diibaratkan dengan ”minyak zaitun murni”.
Pohon Zaitun yang Subur di Rumah Allah”
Mengingat hal-hal di atas, tidak heran bila hamba-hamba Allah dapat disamakan dengan pohon zaitun. Daud ingin seperti ”pohon zaitun yang subur di rumah Allah”. (Mazmur 52:8) Seperti keluarga Israel pada umumnya yang memiliki pepohonan zaitun di sekeliling rumahnya, Daud juga ingin dekat dengan Yehuwa dan menghasilkan buah demi kepujian Allah.​—Mazmur 52:9.
Semasa setia kepada Yehuwa, kerajaan Yehuda dua suku sama seperti ”pohon zaitun yang subur, penuh dengan buah, dan indah bentuknya”. (Yeremia 11:​15, 16) Namun, orang-orang Yehuda kehilangan kedudukan istimewa itu sewaktu ’mereka tidak mau menaati firman Yehuwa dan berjalan mengikuti allah-allah lain’.​—Yeremia 11:10.
Untuk menjadi pohon zaitun yang subur di rumah Allah, kita harus menaati Yehuwa dan mau menerima disiplin yang melaluinya Dia ”memangkas” kita sehingga kita dapat menghasilkan lebih banyak buah Kristen. (Ibrani 12:​5, 6) Selain itu, sebagaimana pohon zaitun liar membutuhkan akar yang tersebar luas untuk bertahan menghadapi musim kering, kita perlu memperkuat akar rohani kita agar bertahan menghadapi cobaan dan penganiayaan.​—Matius 13:21; Kolose 2:​6, 7.
Dengan tepat, pohon zaitun melambangkan orang-orang Kristen yang setia, yang tidak dikenal dunia ini namun diakui Allah. Jika orang semacam itu meninggal dalam sistem ini, ia akan hidup kembali di dunia baru yang akan datang.​—2 Korintus 6:9; 2 Petrus 3:​13.
Pohon zaitun, yang nyaris tidak dapat binasa dan selalu berbuah tahun demi tahun, mengingatkan kita pada janji Allah, ”Umur umatku akan seperti umur pohon; dan orang-orang pilihanku akan menggunakan sepenuhnya hasil karya tangan mereka.” (Yesaya 65:22) Janji yang bersifat nubuat itu akan digenapi dalam dunia baru Allah.​—2 Petrus 3:​13.
[Catatan Kaki]
Biasanya, cabang-cabang baru ini dipangkas setiap tahun sehingga tidak menyerap tenaga dari pohon utama.
[Gambar di hlm. 25]
Sebatang pohon tua yang bengkok di Jávea, Provinsi Alicante, Spanyol
[Gambar di hlm. 26]
Hutan zaitun di Provinsi Granada, Spanyol
[Gambar di hlm. 26]
Pohon zaitun tua di luar tembok Yerusalem
[Gambar di hlm. 26]
Mencangkokkan cabang ke pohon zaitun dicatat Alkitab
[Gambar di hlm. 26]
Pohon zaitun tua ini dikelilingi tunas-tunas muda
·         Copyright © 2019 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania

·         Syarat Penggunaan

·         Kebijakan Privasi

·         JW.ORG

·         Log In


"CANGKOK" dalam Kitab Roma






Description: Post by BP » Mon Mar 25, 2013 1:39 pm
Pendapat tentang istilah "CANGKOK" dalam Kitab Roma (terj B. Indonesia):


Roma 11: 17,19, 23-24:
Sebenernya alkitab terjemahan LAI telah melakukan sebuah kesalahan terjemahan yang amat fatal dan memalukan.

cangkok = dahan pohon di kerat, lalu dibungkus media gembur. setelah 1 bulan, maka akan muncul akar, dan cabang itu dapat di POTONG dari pohon itu, lalu ditanam di pot baru/ditanah

Sambung Sisip = dahan pohon di kerat sedikit, lalu cabang entres baru di sisipkan kedalam dahan pohon induk. bungkus yg erat sambungan itu. setelah 1 bulan, maka cabang entres baru akan menyatu dengan pohon induk

bisa menangkap dimana kesalahan terjemahan LAI ?


Tanggapan:


Mari kita kaji istilah "cangkok", apa maksud di dalam ayat tsb, "penggabungan" ataukah "pemisahan" :
* Roma 11:17
LAI TB (1974), Karena itu apabila beberapa cabang telah dipatahkan dan kamu sebagai tunas liar telah dicangkokkan di antaranya dan turut mendapat bagian dalam akar pohon zaitun yang penuh getah,
MILT (2008), Namun, jika beberapa cabang telah dipatahkan dan kamu yang menjadi pohon zaitun liar dicangkokkan di antara mereka dan kamu menjadi teman sekutu bagi akar dan bagi getah pohon zaitun itu,
Shellabear Draft (1912), Tetapi jikalau separuh carang-carang itu telah dipatahkan, dan engkau, pohon zaitun hutan ini, dicangkukkan kedalamnya, lalu mendapatkan bahagian dari pada akar yang memberi subur pohon zaitun itu,
Melayu BABA (1913), Ttapi jikalau sparoh charang-charang itu sudah di-patahkan, dan angkau pula, pokok zaitun-hutan ini, di-changkokkan masok antara-nya, dan sudah dapat bhagian deri-pada akar yang kasi gmok sama itu pokok zaitun:

Terlemahan MILT 2008, Shellabear 1912, Melayu BABA 1913, dll (yang bukan dari LAI) juga menggunakan istilah "cangkok," Jadi bukan hanya LAI saja yang patut Anda dipersalahkan, pemakaian kata "cangkok" itu sudah ada sejak tahun 1912, sebelum LAI berdiri sebagai lembaga
Dan dalam terjemahan kuno itu menggunakan istilah "dicangkokkan kedalam" atau "dicangkokkan masuk" (jelas disini bahwa maksud "cangkok" itu adalah penggabungan, bukan pemisahan).


Tetapi, menarik terjemahan LAI-TL tahun 1954 memberikan terjemahan yang lebih baik, malah lebih up-to-date untuk pemahaman masa sekarang:
TL (1954), Tetapi jikalau beberapa cabang sudah patah, dan engkau, yang jadi pohon zaitun hutan, disisipkan ke dalamnya, lalu memperoleh sama-sama bahagian daripada lemak akar pohon zaitun itu,

Bandingkan dengan:
Klinkert 1863 (1863), Maka kaloe ada bebrapa tangke dipatahken, dan angkau, jang pohon zeiton hoetan, dimasokken dalem pohonnja, dan angkau djoega soedah mendapet bagian bersama-sama dari akar dan dari gemoknja {Yer 11:16} itoe pohon zeiton,

Bandingkan dengan terjemahan baru/ modern dalam bahasa Inggris:
NIV, If some of the branches have been broken off, and you, though a wild olive shoot, have been grafted in among the others and now share in the nourishing sap from the olive root, (NIV menyajikan terjemahan yang paling baik dalam pemahaman masa sekarang)


Memang, dalam istilah tekhnologi pertanian di masa kini, "cangkok" itu adalah tekhnik pemisahan cabang dari batangnya, setelah dibuatnya berakar. Dan ini merupakan hal yang berbeda dengan istilah okulasi, stek, sambung-sisip.

Sekarang, kita abaikan sejenak pemakaian istilah "cangkok" yang berlaku dalam tekhnologi pertanian modern sekarang ini….. Dan mari kita pertimbangkan kajian-kajian ini:

Kalau kita melihat konteks ayat ini, semestinya kita mengerti bahwa istilah "cangkok" dalam terjemahan2 di atas bukan bermakna pemisahan, tetapi "penempelan" (pertimbangan pengertian ini adalah dari frasa terakhir ayat ini, yaitu " turut mendapat bagiandalam akar pohon zaitun yang penuh getah." Artinya, maksud istilah "cangkok" dalam terjemahan2 di atas itu adalah "menggabungkan."

Perlu dipertimbangkan bahwa istilah "cangkok" di zaman dulu (tahun 1912) belum tentu bermakna sama-persis dengan istilah tekhnologi pertanian yang berlaku masa sekarang ini (bandingkan istilah "acuh" yang seharusnya bermakna "peduli," tetapi di masa sekarang sering disalah-artikan menjadi "tidak peduli", ada perubahan makna/ pengertian). Maka, hal ini mungkin-mungkin saja terjadi pada istilah "cangkok" yang seharusnya "tempel" tapi di masa kemudian menjadi "pemisahan" (ada perubahan makna/ pengertian).

Dan juga perlu dipertimbangkan dengan istilah "cangkok" di dalam ranah kedokteran (mis. cangkok ginjal, hati dst...) Maka, kata "dicangkokkan" di dalam terjemahan kitab Roma tersebut adalah benar.
Barangkali "cangkok" dalam artian inilah yang berlaku di masa lalu di tahun 1912 s/d 1974, tapi toh juga diikuti oleh team penerjemah MILT (ILT) tahun 2008 tetap menggunakan istilah "cangkok" ini.

Dan, yang paling penting dalam memahami ayat, kita tidak terpaku kepada "istilah" tetapi lebih kepada KONTEKS!

Sekarang, kita kaji bahasa aslinya:
TR, ει δε τινες των κλαδων εξεκλασθησαν συ δε αγριελαιος ων ενεκεντρισθης εν αυτοις και συγκοινωνος της ριζης και της πιοτητος της ελαιας εγενου
Translit interlinear, ei {jika} de {tetapi} tines {beberapa} tôn kladôn {dari cabang2} exeklasthêsan {telah dipatahkan} su {engkau} de {lalu} agrielaios {pohon zaitun liar} ôn enekentristhês {telah ditempelkan, being-were grafted in} en {di antara} autois {mereka} kai {dan} sugkoinônos {mendapat bagian} tês rizês {dalam akar} kai {juga} tês piotêtos {yg penuh getah/ berharga} tês elaias {pohon zaitun} egenou {menjadi}

Kata 
"enekentristhês" adalah bentuk "aorist passive" dari kata egkentrizô, "(1) to cut into, for the sake of inserting scion" [memotong demi menghasilkan keturunan] dan (2) "to innoculate, ingraft, graft in" [menyuntikan, menempelkan]. Pengertian (2) ini sesuai konteks Roma 11:17.

Perhatikan kata "sugkoinônos" (mendapat bagian), memakai perkataan yang serumpun dengan koinôniapersekutuan jemaat. Jelas Roma 11:17 ini menyangkut kesatuan antara orang Yahudi dan non-Yahudi, yang digambarkan pula (dengan perumpamaan lain) dalam Efesus 2:14-18.

Jadi, sangat penting dalam menelaat ayat, kita tidak hanya melihat "istilah kata" namun lebih daripada itu adalah KONTEKS.

Semoga jelas.


Blessings,
BP


Halakhah



http://www.jewfaq.org/halakhah.htm


Halakhah: Jewish Law
Halakhah (in Hebrew)

Level: Intermediate
  • Halakhah is a set of Jewish rules and practices
  • It affects every aspect of life
  • It adds religious significance to everyday activities
  • Halakhah comes from the Torah, the rabbis, and custom

What is Halakhah?

Two TabletsJudaism is not just a set of beliefs about G-d, man and the universe. Judaism is a comprehensive way of life, filled with rules and practices that affect every aspect of life: what you do when you wake up in the morning, what you can and cannot eat, what you can and cannot wear, how to groom yourself, how to conduct business, who you can marry, how to observe the holidays andShabbat, and perhaps most important, how to treat G-d, other people, and animals. This set of rules and practices is known as halakhah.
The word "halakhah" is usually translated as "Jewish Law," although a more literal (and more appropriate) translation might be "the path that one walks." The word is derived from the Hebrew root Hei-Lamed-Kaf, meaning to go, to walk or to travel.
Some non-Jews and non-observant Jews criticize this legalistic aspect of traditional Judaism, saying that it reduces the religion to a set of rituals devoid of spirituality. While there are certainly some Jews who observe halakhah in this way, that is not the intention of halakhah, and it is not even the correct way to observe halakhah.
On the contrary, when properly observed, halakhah increases the spirituality in a person's life, because it turns the most trivial, mundane acts, such as eating and getting dressed, into acts of religious significance. When people write to me and ask how to increase their spirituality or the influence of their religion in their lives, the only answer I can think of is: observe more halakhah. Keep kosher or light Shabbat candles, pray after meals or once or twice a day. When you do these things, you are constantly reminded of your relationship with the Divine, and it becomes an integral part of your entire existence.
Are these laws sometimes inconvenient? Yes, of course. But if someone you care about -- your parent, your child, your spouse -- asked you to do something inconvenient or unpleasant, something you didn't feel like doing, you would do it, wouldn't you? It is a very shallow and meaningless kind of love if you aren't willing to do something inconvenient for the one you love. How much more so should we be willing to perform some occasionally inconvenient tasks that were set before us by our Creator, who assigned those tasks to us for our own good?

Sources of Halakhah

Halakhah comes from three sources: from the Torah, from laws instituted by the rabbis and from long-standing customs. Halakhah from any of these sources can be referred to as a mitzvah (commandment; plural: mitzvot). The word "mitzvah" is also commonly used in a casual way to refer to any good deed. Because of this imprecise usage, sophisticated halakhic discussions are careful to identify mitzvot as being mitzvot d'oraita (an Aramaic word meaning "from the Torah") or mitzvot d'rabbanan (Aramaic for "from the rabbis"). A mitzvah that arises from custom is referred to as a minhag. Mitzvot from all three of these sources are binding, though there are differences in the way they are applied (see below).

Mitzvot D'Oraita (in Hebrew)Mitzvot D'Oraita: Commandments from the Torah

At the heart of halakhah is the unchangeable 613 mitzvot (commandments) that G-d gave to the Jewish people in theTorah (the first five books of the Bible).
Some of the mitzvot d'oraita are clear, explicit commands in the text of the Torah (thou shalt not murder; you shall write words of Torah on the doorposts of your house), others are more implicit (the mitzvah to recite grace after meals, which is inferred from "and you will eat and be satisfied and bless the L-rd your G-d"), and some can only be ascertained by deductive reasoning (that a man shall not commit incest with his daughter, which is deduced from the commandment not to commit incest with his daughter's daughter).
Some of the mitzvot overlap; for example, there is a commandment to rest on Shabbat and a separate commandment not to do work on Shabbat.
Tet-Reish-Yod-Gimmel (the numeral 613, pronounced "taryag")Although there is not 100% agreement on the precise list of the 613 (there are differences in the way some lists divide related or overlapping mitzvot), there is complete agreement that there are 613 mitzvot. This number is significant: it is the numeric value of the word Torah (Tav = 400 + Vav = 6 + Reish = 200 + Hei = 5), plus 2 for the two mitzvot whose existence precedes the Torah: I am the L-rd, your G-d and You shall have no other gods before Me. (Talmud Makkot 23b). The 613 are often referred to as the taryag mitzvot, because the standard way of writing the number 613 in Hebrew is Tav (400) Reish (200) Yod (10) Gimel (3). The most accepted list of the 613 mitzvot is Rambam's list in his Mishneh Torah. In the introduction to the first book of the Mishneh Torah, Rambam lists all of the mitzvot, then proceeds to divide them up into subject matter categories. See List of the 613 Mitzvot.
Mitzvot Aseh v'Lo Ta'aseh (Commandments To Do and Not To Do, in Hebrew)There is also complete agreement that these 613 mitzvot can be subdivided into 248 "positive" mitzvot and 365 "negative" mitzvot. Positive mitzvot are commandments to do something, such as the commandment to honor your mother and father. In Hebrew, these are called mitzvot aseh (commandments to do). Negative mitzvot are commandments not to do something, such as the commandment not to murder. In Hebrew, these are called mitzvot lo ta'aseh (commandments not to do). The Talmud explains that these numbers have significance: there are 365 days in the solar year, and 248 bones of the human male body (Makkot 23b). (Note: the Hebrew term translated as "bones" includes some additional body parts, which explains the discrepancy from modern medicine's count of 206 bones). Ancient sources also indicate that there are 365 sinews in the body, and a significant 248-day cycle of the moon, so both numbers have both anatomical and astronomical significance.
Many of these 613 mitzvot cannot be observed at this time for various reasons. For example, a large portion of the laws relate to sacrifices and offerings, which can only be made in the Temple, and which does not exist today. Some of the laws relate to the theocratic state of Israel, its king, its supreme court, and its system of justice, and cannot be observed because the theocratic state of Israel does not exist today. In addition, some laws do not apply to all people or places. Agricultural laws only apply within the state of Israel, and certain laws only apply to kohanim or Levites. The 19th/20th century scholar Rabbi Israel Meir Kagan, commonly known as the Chafetz Chayim, identified 77 positive mitzvot and 194 negative mitzvot which can be observed outside of Israel today.

Mitzvot D'Rabbanan (in Hebrew)Mitzvot D'Rabbanan: Laws Instituted by the Rabbis

In addition to the laws that come directly from Torah (d'oraita), halakhah includes laws that were enacted by the rabbis (d'rabbanan). These rabbinic laws are still referred to as mitzvot (commandments), even though they are not part of the original 613 mitzvot d'oraita. Mitzvot d'rabbanan are considered to be as binding as Torah laws, but there are differences in the way we apply laws that are d'oraita and laws that are d'rabbanan (see below).
Mitzvot d'rabbanan are commonly divided into three categories: gezeirah, takkanah and minhag.
Gezeirah (in Hebrew)A gezeirah is a law instituted by the rabbis to prevent people from accidentally violating a Torah mitzvah. We commonly speak of a gezeirah as a "fence" around the Torah. For example, the Torah commands us not to work on Shabbat, but a gezeirah commands us not to even handle an implement that you would use to perform prohibited work (such as a pencil, money, a hammer), because someone holding the implement might forget that it was Shabbat and perform prohibited work. The word is derived from the root Gimel-Zayin-Reish, meaning to cut off or to separate.
Takkanah (in Hebrew)A takkanah is a rule unrelated to biblical laws that was created by the rabbis for the public welfare. For example, the practice of public Torah readings every Monday and Thursday is a takkanah instituted by Ezra. The "mitzvah" to light candles on Chanukkah, a post-biblical holiday, is also a takkanah. The word is derived from the Hebrew root Tav-Qof-Nun, meaning to fix, to remedy or to repair. It is the same root as in "tikkun olam," repairing the world, or making the world a better place, an important concept in all branches of Judaism.
Some takkanot vary from community to community or from region to region. For example, around the year 1000 C.E., a Rabbeinu Gershom Me'or Ha-Golah instituted a takkanah prohibiting polygyny (multiple wives), a practice clearly permitted by the Torah and the Talmud. This takkanah was accepted by Ashkenazic Jews, who lived in Christian countries where polygyny was not permitted, but was not accepted by Sephardic Jews, who lived in Islamic countries where men were permitted up to four wives.

Minhag (in Hebrew)Minhag: Customs

Minhag is treated as a category of mitzvot d'rabbanan (from the rabbis), mostly because it is clearly not d'oraita(from the Torah), but minhag is generally not the sort of rule that is created by reasoned decision-making. A minhag is a custom that developed for worthy religious reasons and has continued long enough to become a binding religious practice. For example, the second, extra day of holidays was originally instituted as a gezeirah, so that people outside of Israel, not certain of the day of a holiday, would not accidentally violate the holiday's mitzvot. After the mathematical calendar was instituted and there was no doubt about the days, the added second day was not necessary. The rabbis considered ending the practice at that time, but decided to continue it as a minhag: the practice of observing an extra day had developed for worthy religious reasons, and had become customary.
It is important to note that these "customs" are a binding part of halakhah, just like a mitzvah, a takkanah or agezeirah.
The word "minhag" is also used in a looser sense, to indicate a community or an individual's customary way of doing some religious thing. For example, it may be the minhag in one synagogue to stand while reciting a certain prayer, while in another synagogue it is the minhag to sit during that prayer. It may become an individual's minhag to sit in a certain location in synagogue, or to walk to synagogue in a certain way, and under appropriate circumstances these too may become minhag. Even in this looser sense, these customs can become binding on the individual, it is generally recommended that a person follow his own personal or community minhag as much as possible, even when visiting another community, unless that minhag would cause the other community discomfort or embarrassment..

The Difference Between Torah Law and Rabbinic Law

As we have seen, Jewish law includes both laws that come directly from the Torah (either expressed, implied or deduced) and laws that were enacted by the rabbis. In a sense, however, even laws enacted by the rabbis can be considered derived from the Torah: the Torah gives certain people the authority to teach and to make judgments about the law (Deut. 17:11), so these rabbinical laws should not be casually dismissed as merely the "laws of man" (as opposed to the laws of G-d). Rabbinical laws are considered to be as binding as Torah laws, but there are differences in the way we apply laws that are "d'oraita" (from the Torah) and laws that are "d'rabbanan" (from the rabbis).
The first important difference is a matter of precedence: d'oraita takes precedence over d'rabbanan. If two d'oraita rules come into conflict in a particular situation, rules of precedence are applied to determine which rule is followed; however, if a d'oraita rule comes into conflict with a d'rabbanan rule, the d'oraita rule (Torah rule) always takes precedence. Do we fast on Yom Kippur when it falls on Shabbat? These are both d'oraita, so rules of precedence must apply. Specific rules take precedence over general rules, so the specific rules of Yom Kippur fasting takes precedence over the general rule of Shabbat joy, and yes, we fast on Yom Kippur on Shabbat. However, the other fasts on the Jewish calendar are d'rabbanan, so the d'oraita rule of Shabbat joy takes precedence, and other fasts that fall on Shabbat are moved to another day.
The second important difference is the strictness of observance. If there is doubt (in Hebrew: safek) in a matter that is d'oraita, we take the strict position (in Hebrew: machmir) regarding the rule; if there is doubt in a matter that is d'rabbanan, we take the lenient position (in Hebrew: makil) regarding the rule. In Hebrew, this rule is stated: safek d'oraita l'humra; safek d'rabbanan l'kula. This is easier to understand with an example: suppose you are reading the morning prayers and you can't remember whether you read Bar'khu and Shema (two important prayers). You are in doubt, safek. The recitation of Shema in the morning is a mitzvah d'oraita, a biblical commandment (Deut. 6:7), so you must be machmir, you must go back and recite Shema if you are not sure whether you did. The recitation of Bar'khu, on the other hand, is a mitzvah d'rabbanan, a rabbinic law, so you can be makil, you don't have to go back and recite it if you are not sure. If you are certain that you did not recite either of them, then you must go back and recite both, there is no doubt so no basis for leniency.

© Copyright 5756-5771 (1995-2011), Tracey R Rich
If you appreciate the many years of work I have put into this site, show your appreciation by linking to this page, not copying it to your site. I can't correct my mistakes or add new material if it's on your site. Click Here for more details.